PDM Kota Padangpanjang - Persyarikatan Muhammadiyah

 PDM Kota Padangpanjang
.: Home > Artikel

Homepage

Pemikiran Buya Hamka tentang Islam

.: Home > Artikel > PDM
15 Desember 2015 07:05 WIB
Dibaca: 1951
Penulis :



 

Membaca biografi Buya HAMKA, dapat diambil sebuah kesimpulan, bahwa seorang HAMKA bisa dikategorikan sebagai tokoh yang memiliki kecerdasan dan kemampuan dalam berbagai bidang, perjuangannya pun dalam berbagai ranah, itu pun terlihat dari berbagai macam karyanya yang membahas beraneka ragam keilmuan, hingga ia layak disebut sebagai tokoh nasional, sang pembaharu, bapak pendidikan, ahli sejarah, dan sastrawan. Namun diantara gelar-gelar tersebut, HAMKA lebih layak disebut sebagai tokoh islam, pejuang ajaran Islam, dan da'I ulung yang senantiasa menggaungkan syi'ar-syi'ar islam.

Bukanlah menjadi sebuah perdebatan lagi, bahwa setiap apa yang diperjuangkan oleh HAMKA merupakan perjuangan yang bertujuan untuk memajukan agama Islam, sepak terjangnya mencorakkan semangat Islam, diberbagai sendi dimana HAMKA menuliskan tinta perjuangan selama hayatnya, sehingga pemikiran-pemikirannya pun tentunya akan bercorak pada ajaran-ajaran Islam.

Setidaknya ada 3 sendi utama pemikiran HAMKA dan itu semua bernafaskan keislaman:



1. Bidang Politik

Pemikiran keislaman HAMKA salah satunya diperjuangkan lewat perpolitikan, dimana HAMKA dalam pandangannya menyebutkan bahwa dalam hal pemilihan kepala negara, maka proses dan ketentuan-ketentuannya harus sesuai dengan nash-nash syari'at, karena pada dasarnya segala kekuasaan itu milik Allah, sementara manusia hanya ditunjuk sebagai pengganti atau khalifah di muka bumi ini, sehingga dalam menjalankan titah tersebut, manusia mutlak dibarengi dengan aturan-aturan Allah, kemudian Beliau menambahkan bahwa majunya suatu bangsa manakala mereka memegang teguh peraturan-peraturan Allah, dan runtuhnya masyarakat manakala mereka meninggalkan-Nya. Teori ini HAMKA sebut sebagai demokrasi taqwa. HAMKA pun menganut paradigma integralistik, dimana negara dan agama tidak dapat dipisahkan satu sama lain, dan keterikatan tersebut dijalin dengan asas tauhid.



2. Bidang Pendidikan

Hakikat pendidikan menurut HAMKA ada 2, yaitu pendidikan ruhani dan jasmani, keduanya harus dioptimalkan secara seimbang, karena jika tidak maka objek pendidikan akan menjadi timpang, untuk itu, proses pendidikan sangatlah urgen. Proses pendidikan yang baik, harus didasarkan pada tujuan yang baik, dan tujuan yang baik menurut HAMKA memiliki dua dimensi yaitu dunia dan akhirat. Oleh karennya proses pendidikan bisa dikatakan berhasil apabila telah bisa mencapai tujuan akhir menjadikan anak didik sebagai abdi Allah yang baik. dalam hal pendidikan pula HAMKA memandang bahwa materi yang diajarkan harus meliputi dua keilmuan. pertama yang bersumber dari wahyu yang mutlak kebenarannya dan yang kedua bersumber dari akal manusia yang relatif kebenarannya. untuk yang kedua harus selalu disertai dengan iman. Dari sini maka HAMKA merumuskan bahwa prinsip dari pendidikan harus selalu bersendikan tauhid yang mana akan mendorong objek pendidik untuk senantiasa mengamalkan hasil pendidikan yang ia dapat dengan benar.



3. Bidang Tasawuf                                                                     

Dalam hal ini, Buya HAMKA mencoba memurnikan tasawuf dari praktek-praktek kesufian, yang menyebabkan umat muslim meninggalkan secara total kedunia'an, perjuangan HAMKA dalam ranah tasawwuf dilakukan dengan memberikan defenisi ulang terhadap syarat-syarat seorang tasawwuf yang sesuai dengan amalan-amalan Rasul dan para sahabat Beliau, diantaranya:



Zuhud dan faqr (kaitannya dengan harta)

Untuk mendekatkan diri sedekat-dekatnya kepada Tuhan, seorang sufi harus menempuh beberapa tahap, antara lain al-zuhd dan al-faqr. Untuk tahap pertama, seseorang harus mengabaikan kehidupan duniawi, sebab dunia dengan segala kehidupan materialnya adalah sumber kemaksiatan dan penyebab terjadinya segala kejahatan yang menimbulkan kerusakan dan dosa. Sedangkan tahap kedua, seseorang harus bersikap tidak memaksa diri untuk mendapatkan sesuatu, tidak menuntut lebih dari apa yang telah dimiliki, atau melebihi dari kebutuhan primer.

Bagi HAMKA, harta benda sangat perlu dalam melakukan pendekatan kepada Tuhan. Banyak keja Beliaun orang yang suci hatinya, tinggi maksudnya ingin berbuat baik kepada orang lain, tetapi cita-citanya itu terhalang karena tidak memiliki harta yang memadai. Bagaimana mungkin seseorang bisa memiliki pakaian untuk dipakai beribadah, atau dapat membayar zakat dan naik haji, jika ia tidak memiliki harta.

Di samping itu, kesehatan fisik dan jiwa juga sangat menentukan dalam mendekatkan diri kepada Tuhan. Orang yang sakit fisik atau jiwanya, pikirannya akan menjadi kacau, sehingga ia tidak akan mampu mengkonsentrasikan diri beribadah kepada Tuhan. Untuk menjaga kesehatan secara maksimal, tidak terlepas dari perlunya memiliki harta yang cukup.

Namun demikian, HAMKA menggarisbawahi bahwa orang yang sedikit keperluannya, itulah orang yang paling kaya. Sebaliknya, orang yang paling banyak keperluannya, itulah orang yang paling miskin. Jadi, pada hakekatnya, kekayaan dan kemiskinan itu tergantung pada kebutuhan dan ketenteraman hati seseorang. 



Al-Qana’ah

Qana’ah ialah menerima dengan cukup. Maksudnya, seseorang harus memagar apa yang dimilikinya dan tidak menjalar pikirannya kepada apa yang dimiliki oleh orang lain.

Bukanlah qana’ah jika menerima apa adanya dan tidak mau berusaha lagi, melemahkan hati, memalaskan pikiran, serta mengajak berpangku tangan. Akan tetapi, qana’ah adalah modal yang paling teguh untuk menghadapi kesungguhan hidup untuk mencari rezki yang halal.



Al-Tawakkal

Dalam kehidupan sufi, tawakkal adalah, selain menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan, juga tidak meminta, tidak menolak dan tidak menduga-duga. Nasib apapun yang diterima, itu adalah karunia dari Tuhan. Menurut mereka, sikap ini akan berimplikasi pada keadaan jiwa yang tenang, berani, dan ikhlas dalam menalani hidupnya.

Bagi HAMKA, makna tawakkal adalah penyerahan diri kepada Tuhan tanpa terlepas dari hukum alam-Nya (sunnatullah). Sebagai contoh, sebelum keluar rumah, pintu dikunci sambil bertawakkal kepada Tuhan. Sebaliknya, bukanlah tawakkal jika seseorang yang duduk di bawah dinding yang hendak runtuh.

Untuk memperkuat pendapatnya, ia mengutip sebuah riwayat yang pernah terjadi di zaman Rasulullah. Seorang Arab Badwi yang datang menghadap kepada beliau tanpa mengikat ontanya, dengan dasar tawakkal kepada Tuhan. Rasulullah menyanggah perbuatan orang tersebut sambil bersabda: “Ikatlah dahulu ontamu barulah bertawakkal”.

Dan masih banyak lagi sebenarnya pemikiran-pemikiran yang mencerminkan bahwa jiwa HAMKA adalah pejuang muslim sejati. Namun keterbatasan pengetahuan penulis terhadap luasnya pemikiran dan perjuangan Buya HAMKA, juga sedikitnya literatur yang dapat kami baca disebabkan sedikitnya waktu, sehingga membuat tulisan ini berakhir sampai disini saja, karena dikhawatirkan terdapat opini-opini yang tidak berdasar.



Sumber: tongkronganislami.net


Tags: Islam , PemikiranBuyaHamka

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website